TAUHID
SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
A. PENDAHULUAN
Islam
–yang memiliki pondasi berupa tauhid (mengesakan Tuhan) - dan ilmu pengetahuan
adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan oleh umat Muhammad. Islam
adalah agama yang akan membawa manusia menuju akhir yang baik dari perjalanan
seorang manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mengeksplorasi,
dan menggali kekayaan yang tersembunyi di dunia ini, sekaligus sebagai tools
untuk memahami kebesaran Allah sebagai sang Khaliq. Para pemikir islam, telah
mengambil sikap untuk memadukan antara islam dan ilmu pengetahuan, yang
diantara tujuannya adalah mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara
menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu alam pasti
dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan dari masing-masing disiplin ilmu yang
konsisten dengan Islam. Setiap disiplin ilmu harus dituangkan kembali sehingga
mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya. Gagasan untuk memadukan
islam dengan ilmu pengetahuan telah tertuangkan secara sistematis dalam sebuah
proyek besar yang disebut sebagai “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Islamisasi
ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) merupakan sebuah ide atau gagasan
yang muncul pada sekitar awal tahun 80-an. Ide atau gagasan ini pertama kali
dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-Faruqi.
Dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi
ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada
esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus menunjang tauhid
sebagai asas kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam
pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam.
Prinsip-prinsip tersebut ialah: a. Keesaan Allah. b. Kesatuan alam semesta. c.
Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. d. Kesatuan hidup. e. Kesatuan
umat manusia. Dalam makalah kali ini, yang ingin dibahas oleh penulis terkait
hal tersebut bukan pada tataran praktis apa-apa saja yang perlu dilakukan dalam
merealisasikan proyek besar tersebut, namun lebih pada mengungkapkan konsep
dasar yang melandasinya, yaitu korelasi antara tauhid dengan ilmu pengetahuan,
yang akan bermuara pada pernyataan “Keesaan Tuhan dan Kesatupaduan Kebenaran Ilmu
Pengetahuan” , atau dengan kata lain, penulis menitikberatkan pemaparan dalam
makalah ini pada nomer ketiga dari lima prinsip dasar ilmu pengetahuan, yaitu
prinsip “Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan”.
B. PEMBAHASAN
B.1
Definisi
Tak
diragukan lagi bahwa intisari islam adalah tauhid, sebuah komitmen yang
menegaskan bahwa Allah itu Esa, pencipta mutlak lagi utama, Tuhan semesta alam.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi, tauhid ini adalah pengikat bagian-bagian islam,
yang menjadikan semua bagian-bagian islam sebagai suatu badan yang integral dan
organis yang kita sebut sebagai peradaban. Dalam mengikat berbagai unsur,
intisari peradaban –dalam kasus ini, tauhid- menciptakan mereka dengan polanya
sendiri. Mencetak ulang semua bagian sehingga selaras –dan saling mendukung-
dengan unsur lain. Tanpa harus mengubah watak bagian itu, intisarinya mengubah
unsur-unsur yang membentuk peradaban itu, memberikan mereka watak baru sebagai
pembentuk peradaban itu. Tingkat perubahannya bervariasi, dari yang ringan
sampai radikal, bergantung pada bagaimana hubungan intisarinya dengan
unsur-unsur yang berbeda dan fungsi-fungsinya. Hubungan ini terlihat jelas
dalam pikiran orang muslim yang mengamati fenomena peradaban. Itulah sebabnya
mereka menjadikan tauhid sebagai judul dari karya mereka yang sangat penting,
dan mereka menempatkan semua subjek di bawah naungannya. Mereka memandang
tauhid sebagai prinsip dasar yang mencakup atau menentukan prinsip lainnya; dan
mereka menemukan bahwa dalam tauhid ada mata air, sumber pokok yang menentukan
semua fenomena peradaban islam. Secara sederhana, definisi tauhid adalah
keyakinan dan kesaksian bahwa “tak ada Tuhan kecuali Allah”. Penafian ini, yang
sangat ringkas, memberikan makna sangat kaya dan agung dalam keseluruhan Islam.
Kadang-kadang seluruh kebudayaan, seluruh peradaban, atau seluruh sejarah
terpadatkan dalam satu kalimat. Inilah kasus dalam kalimat atau syahadat
(kesaksian) Islam. Semua keanekaragaman, kekayaan dan sejarah, kebudayaan dan
pengetahuan, kearifan dan peradaban Islam terpadatkan dalam kalimat pendek ”Lâ
ilâha illallâh”. Sementara ilmu, oleh Imam al-Mahalli didefinisikan sebagai
“pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana hakikatnya” . Beliau mencontohkan ilmu
ini seperti pengetahuan seseorang yang mendefinisikan manusia sebagai “hayawân
an-nâthiq” (hewan berakal). Dari pengertian tersebut, bisa kita pahami bahwa
yang disebut sebagai ilmu dalam Islam ialah pengetahuan tentang sesuatu menurut
hakikatnya, atau dalam istilah mantiq, ialah pengetahuan yang berasal dari
“natijah” tepat dari “muqaddimah kubra” (premis mayor) dan “muqaddimah shughra”
(premis minor) yang sama-sama tepat pula. Adapun yang dijadikan sebagai alat
untuk menganalisa ketepatan pengetahuan tersebut ialah akal yang sehat. Lebih
lanjut, dalam ilmu manthiq disebutkan bahwa sebuah pengetahuan dapat
dikategorikan sebagai “ilmu” ialah ketika diiringi dengan sebuah keyakinan.
Selanjutnya, bagaimana antara tauhid dan ilmu pengetahuan berkorelasi sehingga
membentuk pondasi agama islam yang kuat, akan kami paparkan pada
penjelasan-penjelasan berikutnya.
B.2
Studi Perbandingan Tauhid Islam
Dengan
“Iman” Kristen Dan Skeptisisme Dalam sejarahnya, keyakinan agama kristen yang
berpusat pada gereja sebagai sebuah lembaga, pernah memiliki wibawa yang sangat
besar dalam menentukan kebenaran. Tradisi ini bermula sejak meredupnya
peradaban Yunani yang disambung dengan beralihnya kiblat peradaban di Romawi,
dimana pada saat itu, Santo James dan Santo Petrus bersama-sama membangun
sebuah pondasi teologi yang dalam perkembangannya menentukan pola pikir
pengetahuan masyarakat, hingga kemudian muncul paham skeptisisme yang diawali
oleh filosof Rene Descartes. Pandangan skeptisisme ini berkembang sangat pesat
hingga menjadi sebuah pandangan dominan bagi dunia, terutama di Barat, yang
dianut oleh kaum terpelajar maupun orang-orang awam yang mengaku terpelajar.
Pandangan ini menjadi dominan dikarenakan terutama oleh keberhasilan sains yang
dianggap sebagai kemenangan pemikiran empiris atas pemikiran keagamaan, yang
diwakili oleh gereja pada saat itu. Setelah kemenangan mudah ilmu pengetahuan
(sains) atas dogma gereja , kaum empiris menganggap bahwa gereja tidak lagi
memiliki wibawa untuk menentukan kebenaran, karena pandangannya yang dogmatis,
yang menyatakan proposisi-proposisi tertentu sebagai kebenaran tanpa terlebih
dahulu mengujinya secara empiris dan menyeledikinya secara kritis. Kemenangan
ini tak ayal membuat kaum empiris bertindak berlebihan dengan melakukan
generalisasi ganda bahwa karena semua pengetahuan keagamaan bersifat dogmatis,
maka setiap dan semua kebenaran haruslah dicari dengan jalan empiris, dan
ditetapkan konfirmasi kebenarannya oleh pengamatan inderawi, sebagaimana yang
didapatkan oleh eksperimen terkontrol. Informasi (khobar) apapun yang tanpa
melewati proses demikian, menurut mereka, kebenarannya pantas diragukan
sehingga bisa dinyatakan salah. Dalam analisa mereka, dogma adalah kesetiaan
pada pandangan yang diketahui tidak dapat dikonfirmasikan dalam pengalaman, dan
dengan demikian kebenarannya tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui.
Konsekuensinya, faith (iman dalam pengertian kristen) adalah suatu tindakan,
suatu keputusan dengan mana seseorang berketetapan untuk menerimanya sebagai
sebuah kebenaran meski hal itu merupakan sesuatu yang sama sekali tidak bisa
dimengerti. Hal semacam ini menurut al-Faruqi menyebabkan seorang muslim tidak
boleh menyatakan keimanannya sebagai belief (kepercayaan) ataupun faith. Jika
digunakan dalam pengertian umum, istilah-istilah bahasa inggris ini sekarang
mengandung implikasi ketidakbenaran, kemungkinan keraguan dan kecurigaan. Lebih
lanjut menurutnya, istilah-istilah tersebut hanya memiliki kesahihan jika
dikenakan pada seseorang atau kelompok tertentu. Bahkan dalam keadaan ini,
istilah-istilah tersebut hanya berarti bahwa orang atau kelompok yang
bersangkutan menganggap suatu proposisi tertentu sebagai kebenaran.
Istilah-istilah tersebut tidak pernah berarti bahwa proposisi tersebut adalah
benar. Dengan demikian, jelas bahwa istilah ini merupakan kebalikan dari istilah
iman. Iman merupakan istilah yang diambil dari kata amn atau keamanan, yang
berarti bahwa proposisi-proposisi yang diajukannya sungguh-sungguh benar, dan
bahwa kebenaran mereka telah dimiliki (yakni dipahami dan diterima) oleh
pikiran. Dalam bahasa Islam –yakni Arab-, seseorang dapat dikatakan kadzib atau
munafiq, artinya, pembohong atau penipu; tetapi iman tidak mungkin lancung
dalam arti bahwa obyeknya tidak ada atau sebaliknya dari apa yang
dikemukakannya. Inilah sebab kenapa dalam teologi Islam, iman diidentikkan
dengan yaqin. Sebelum adanya yaqin, orang mungkin menyangkal atau
mempertanyakan kebenaran. Tetapi setelah yaqin tersebut ada, maka kebenaran
menjadi sama kukuh dan meyakinkannya seperti kesaksian inderawi. Iman, dengan
demikian berarti “kepastian” yang secara mutlak bebas dari keraguan yang
bersumber pada kemungkinan, terkaan dan ketidakpastian. Ia merupakan sesuatu
yang terbangun dalam diri manusia, ketika kebenaran terbuka bagi mata hatinya
dan meyakinkannya tanpa keraguan lagi akan kebenarannya dan berimplikasi pada
tindakan, keputusan, ketetapan hati untuk menerima dan menaruh kepercayaan.
Berbeda dengan faith / believe kristen, iman Islam adalah kebenaran yang mudah
diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai
apa saja. Kebenaran-kebenaran, atau proposisi-proposisi dari iman bukanlah
misteri-misteri, hal-hal yang sulit dipahami, tidak diketahui dan tidak masuk
akal; melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenaran atau
proposisi-proposisi tersebut telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus
dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran. Mereka tidak perlu dibela
atau dimohon-mohonkan untuk diterima. Siapa pun yang mengakui mereka sebagai
kebenaran adalah orang yang bernalar; siapa yang berkeras menyangkal atau
meragukannya berarti tak sanggup menalar. Hal ini tidak berlaku bagi iman
Kristen, sebagaimana definisi iman Kristen itu sendiri, tetapi lain dengan iman
Islam, ia malah merupakan suatu deskripsi yang musti. Inilah sebab Allah swt
melukiskan kebenaran Islam sebagai: وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ
إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا [الإسراء : 81] Dan Katakanlah: "Yang benar
Telah datang dan yang batil Telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap.
B.3
Iman, Sebuah Kebenaran Rasional
Sebelum membahas tentang iman sebagai sebuah kebenaran
rasional, layak kiranya jika dipaparkan terlebih dahulu tentang tauhid sebagai
aspek estetis, dimana Tauhid berarti menyingkirkan Tuhan dari segenap bidang
alam. Segala yang diciptakan adalah makhluk, nontransenden, tunduk kepada hukum
ruang dan waktu. Tuhan tak mungkin terjerat dalam dimensi yang demikian. Dia
bukan ciptaan, sama sekali bukan alam. Tak ada yang menyerupai-Nya, tak ada
yang dapat mewakili-Nya. Secara definisi Dia tak tergambarkan. Menurut
al-Faruqi, yang dimaksud dengan pengalaman estetis adalah pengalaman inderawi
akan intisari a priori dan meta-natural yang bertindak sebagai prinsip normatif
objek yang dilihat. Pengalaman ini adalah apa seharusnya objek itu, sebagaimana
terjelaskan dalam definisi ilmu. Semakin dekat objek yang terlihat pada
intisari itu, semakin indah objek itu. Hal ini selaras dengan teori wijdani
seperti dikemukakan oleh Imam al-Ghazali yang berarti bahwa sebuah pengetahuan
bisa didapatkan hakikatnya dengan merasakan sendiri pengalaman akan sesuatu
tersebut. Diselaraskan dengan pemaparan sebelumnya, iman merupakan penggabungan
antara pengalaman estetis sekaligus merupakan suatu kategori kognitif; artinya
ia berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya. Dan
karena sifat dari kandungan proposisionalnya sama dengan sifat dari prinsip
pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika dan estetika, maka dengan
sendirinya dalam diri subyek ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari segala
sesuatu. Iman ialah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam
perspektif yang sesuai dengan –dan perlu bagi- pemahaman yang benar atas
mereka. Ia adalah dasar bagi suatu penafsiran yang rasional atas alam semesta.
Sebagai prinsip utama akal, iman tidak mungkin bersifat non-Rasional atau
irasional, karena jika demikian yang terjadi, maka berarti ada saling
kebertentangan dalam dirinya sendiri. Iman benar-benar merupakan prinsip
pertama rasionalitas. Mentangnya berarti menggelincirkan diri dari penalaran
yang bisa berakibat dari kemanusiaaan. Pengertian tauhid sebagai pengakuan atas
kebenaran ke-Esaan Allah berimplikasi bahwa semua keberatan, semua keraguan,
dapat diacukan kepada-Nya; bahwa tidak ada pernyataan yang tidak boleh diuji;
yang tidak boleh dinilai secara pasti. Tauhid adalah pengakuan bahwa kebenaran
bisa diketahui, bahwa manusia mampu mencapainya. Skeptisisme yang menyangkal
kebenaran ini adalah kebalikan dari Tauhid. Ia muncul dari lemahnya keberanian
untuk melakukan pencarian kebenaran hingga titik puncaknya. Sebagai prinsip
epistemologis, ia merupakan saran dari rasa keputusasaan, yang disandarkan pada
asumsi apriori bahwa manusia hidup dalam impian yang kekal dimana tidak ada
realitas yang akan pernah bisa dibedakan dari non-realitas. Ia tidak dapat
dipisahkan dari nihilisme, atau pengingkaran terhadap nilai-nilai. Sebab,
kesadaran akan nilai menuntut pengakuan nahwa manusia bisa mencapai kebenaran
nilai-nilai.
B.4
Keesaan Tuhan Dan Kesatupaduan
Kebenaran
Mengakui Ketuhanan Tuhan dan keesaan berarti mengakui kebenaran dan
kesatupaduannya. Keesaan Tuhan dan kesatupaduan kebenaran tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Ini
akan menjadi jelas jika kita ingat bahwa kebenaran adalah satu sifat dari
pernyataan tauhid, yaitu bahwa Tuhan itu Esa. Sebab, jika kebenaran itu tidak
satu, maka pernyataan “Tuhan itu Esa” akan bisa dibenarkan, dan pernyataan
“sesuatu benda dan kekuatan lain adalah (juga) Tuhan”. Dengan mengatakan bahwa
kebenaran itu satu, dengan sendirinya menegaskan bahwa Tuhan itu satu, dan
tidak ada tuhan lain selain Tuhan, yang merupakan gabungan dari penafian dan
penegasan yang di¬nyatakan oleh syahadah.La ilaha illa Allah, tidak ada Tuhan
selain Allah. Sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip: 1.
Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan
realitas; 2. Kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki; 3. ketiga,
keterbukaan bagi bukti yang baru dan / atau yang bertentang¬an. Prinsip yang
pertama meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam, karena prinsip ini
menjadikan segala sesuatu dalam agama ter¬buka untuk diselidiki dan dikritik.
Penyimpangan dari realitas, atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya,
sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum,
prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini
melindungi kaum Muslim dari opini, yakni dari tindakan membuat pernyataan yang
tak teruji dan tidak dikonfirmasikan, mengenai pengetahuan. Pernyataan yang
tidak dikonfirmasi, menurut al- Qur'an, adalah zhann, atau pengetahuan yang
menipu, dan dilarang oleh Tuhan. Sekecil apa pun obyeknya. Seorang Muslim dapat
didefinisikan sebagai orang yang tidak menyatakan apa-apa kecuali kebenaran,
yang tidak mengemukakan apa-apa kecuali kebenaran, sekalipun dengan
mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menyembunyi¬kan, mencampurkan kebenaran dengan
kesesatan, menilai kebenaran lebih rendah dari kepentingan sendiri atau
kepentingan sanak kerabat dalam Islam sangat dibenci dan juga dikutuk. Prinsip
kedua, yaitu tidak ada kontradiksi yang hakiki, yang me-lindunginya dari
kontradiksi di satu pihak, dan dari paradoks di lain pihak. Prinsip ini
merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa itu, tidak ada jalan untuk lepas dari
skeptisisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki mengandung arti bahwa
kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pernah dapat
diketahui. Prinsip ketiga, Tauhid sebagai sebuah kesatuan kebenaran, yaitu
keterbukaan terhadap bukti baru dan / atau yang bertentangan, melindungi kaum
muslim dari literalisme, fanatisme dan konservatisme yang mengakibatkan
kemandegan.
B.5
Kebenaran Wahyu Dan Akal
Menurut
al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi
saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun,
kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari
Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk
mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu:
pertama, kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab
wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua,
kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada
pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran
sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga,
oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang
baru.
B.6 Menuju Interelasi Ilmu dalam Islam
Sebuah
Proyek Besar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam pandangan al-Faruqi umat Islam
sekarang berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan kaum Muslimin dalam zaman
kemunduran menyebabkan kebodohan. Di kalangan kaum Muslimin berkembang buta
huruf, kebodohan dan takhayyul. Akibatnya Muslim yang awam lari ke keyakinan
yang buta, bersandar kepada literalisme atau menyerahkan diri kepada Syaikh
pemimpin) mereka. Makanya umat menjadi fanatik secara harfiah kepada syari'at
dan meninggalkan suatu sumber kreativitas yang telah mendapat tempat dalam
bentuk ijtihad . Zaman kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
bidang ekonomi ini telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga
bangsa-bangsa yang terbawah. Dalam keadaan seperti itu masyarakat Muslim
melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan
sebagian kaum Muslimin yang tergoda oleh kemajuan Barat tersebut berupaya untuk
mengadakan reformasi dengan westrenisasi. Ternyata jalan yang ditempuh itu
menghancurkan umat Islam itu sendiri. Sebab dengan mengadakan westrenisasi
berbagai pandangan hidup Barat diterima oleh umat Islam. Mereka menjadi bingung
sendiri, terpecah dalam pemikiran, dalam rumah tangga dan keluarga mereka.
Namun di atas segala problema itu dapat dikatakan, bahwa pendidikanlah yang
menjadi masalah pokok kaum Muslimin. Makanya pendidikan pulalah yang akan
menjawab segala problema tersebut. Sebab bagaimanapun pendidikan tidak hanya
dapat membawa kemajuan bagi suatu kelompok, masyarakat, bangsa, dan bahkan
umat. Sebaliknya pendidikanpun dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan dan
juga kemunduran bagi kelompok, masyarakat, bangsa dan umat yang bersangkutan.
Apalagi jika hal itu dilakukan dengan sengaja, ungkap al-Faruqi. Kemudian ia
menyatakan, bahwa adalah suatu kenyataan sejarah yang sulit untuk dimungkiri,
walaupun umat Islam telah sejak dua abad lampau memasuki abad modern dalam
sejarahnya dengan mengumandangkan pembaharuan di segala bidang, namun keadaan
umat ini sampai sekarang masih saja berada dalam kondisi yang memprihatinkan,
bahkan di segi pendidikan, menurut al-Faruqi, umat Islam berada dalam keadaan
yang terburuk. Dalam konteks inilah al-Faruqi melihat pentingnya untuk
mengembalikan visi keislaman umat melalui jalur pendidikan yang serasi dengan
zaman dan agama, yang intinya adalah tauhid. Tauhid sebagai inti dan esensi
dari ajaran Islam, menurut al-Faruqi adalah pandangan umum dari realitas,
kebenaran ruang dan waktu, serta sejarah dan nasib manusia. Sebagai filsafat
dan pandangan hidup, tauhid memiliki implikasi dalam segala aspek kehidupan
manusia, baik dalam sejarah pengetahuan, filsafat, etika, , umat, keluarga,
ekonomi, maupun estetika. Tauhid sebagai esensi pengalaman agama dan diri
seorang Muslim akan memberi pemahaman, bahwa dalam pandangannya realita ada
dalam dua tata order yang terpisah, yakni yang natural dan transenden; dan yang
transenden menjadi sumber rujukan. Melalui pengalaman agama ini (yang
berintikan tauhid) maka dalam pandangan Islam, realisasi kehidupan harus
mengabdi pada suatu tujuan dan natur suatu fitrah yang tidak dapat diidentikkan
dengan pandangan filsafat ciptaan manusia (aliran-aliran filsafat). Esensi
pengalaman agama atas dasar tauhid ini adalah merupakan realisasi bahwa
kehidupan tidaklah sia-sia. Al-Faruqi tampaknya berkesimpulan, bahwa untuk
membangun umat tidak dapat dimulai dari titik nol. Menolak sama sekali
peradaban yang sudah ada. Pembentukan umat malah harus dilakukan sebagai
langkah lanjutan dari peradaban yang sudah ada dan yang sedang berjalan. Namun
begitu, segala bentuk sistem nilai yang mendasari peradaban itu harus ditambah
dengan pandangan hidup umat Islam itu sendiri, yaitu pandangan hidup yang
bersumber dari Al-Qur'an dan al-Sunnah. Ia melihat hanya dengan cara seperti
itu visi tauhid yang telah hilang akan dapat dikembalikan ke dalam misi
pembentukan umat. Inilah barangkali yang merupakan inti pemikiran Isma'il Raj'i
al-Faruqi dalam bidang pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakannya dalam
konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri
berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan
menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu
pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan
sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten
dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam
data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali
sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid. Al-Faruqi
juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program
islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya selama
bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui
sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan. Rencana kerja al-Faruqi
untuk program islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai
disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan
relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah
Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam
ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Sebenarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki
hanyalah Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan
manusia, maka manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan
tentang-Nya. Sehingga, ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian,
dan menemukan sebuah hukum atau teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi
ta’ala. Baginya, segala kegiatan keilmuan yang dilakukan atas nama Allah yang
telah menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala sesuatu (QS. Al-Alaq
: 1, 2, dan 5). Bagi illmuan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan
ilmiahnya semata-mata bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya
dilakukan atas dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati
nurani (conscience) yang paling dalam untuk memenuhi aturan-aturan Allah.
Sehingga atara science dan con-science merupakan satu kesatuan dan totalitas
yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79). Ketika mengembangkan
dan menggali konsep teoritis dan praksis, semestinya tidak hanya berhenti pada
the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat mengemukakan makna
ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika. Prinsip Tauhidiyah ini,
tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius. Antara
ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas
keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada
batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.
Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya,
sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya. Sehingga ia
tumbuh sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan
berbudi, yakin sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas,
keadilan-Nya yang tidak ada tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.
Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang
mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki
kekuasaan tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan
otoritas Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat,
dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta,
yang mendasarkan setiap aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman
interelasi antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran
mutlak bagi pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
C. KESIMPULAN
1.
Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan -yang merupakan prinsip ketiga dari
lima prinsip proyek Islamisasi Ilmu pengetahuan- adalah pijakan dasar dari
konsep Keesaan Tuhan dan Kesatupaduan Kebenaran Ilmu Pengetahuan” 2. Iman dalam
Islam merupakan sebuah keyakinan yang membuat kebenaran iman sama kukuhnya
dengan kesaksian inderawi, bahkan lebih. Ini sangat berbeda dengan “iman”
kristen, dan beda pula dengan filsafat skeptisisme 3. Iman merupakan
penggabungan antara pengalaman estetis sekaligus sebuah kategori kognitif yang
berarti berhubungan dengan pengetahuan. 4. Keesaan Tuhan dan Kebersatupaduan
Kebenaran ialah penegasan akan keesaan Tuhan dan tunggalnya kebenaran yang
berimplikasi pada pernyataan bahwa Tuhan itu satu, dan tidak ada Tuhan
selain-Nya. 5. Antara kebenaran wahyu dan kebenaran akal tidak ada saling
bertentangan, bahkan saling melengkapi. 6. Antara ilmu dan etika, kesemuanya
adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi
dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada batas antara ilmu dan amal,
tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.
Daftar Pustaka
Departemen Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an dan terjemahannya. ___________ & Al-Faruqi, Lois Lamya, Atlas
Budaya Islam; Menjelajah Peradaban khazanah Gemilang, Terj. Ilyas Hasan
(Bandung : Mizan, 1998, cet, ke-1) Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad bin Abdullah,
Pengantar Studi Aqidah Islam, terj. Muhammad Anis Matta (Jakarta : Rabbani
Press & Al-Manar, 1998, cet. Ke-1) Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, Terj.
Rahmani Astuti (Bandung : Pustaka, 1988, cet. ke-1) Al-Ghazali, Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Ihya Ulum al-Dîn (Beirut : Dar al-kutub
al-‘Ilmiyyah, 2004) Hasim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer:
“Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan” (Islamia, THN II NO.6, Juli-September,
2005) Jalaluddin, Prof, DR, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan
Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011) Al-Mahalli,Jalaluddin, Syarh
al-Waraqât (Surabaya : Al-Hidayah, tt) Nur al-Ibrahimy, Muhammad, ‘Ilmu
al-Manthiq (Surabaya : Maktabah Sa’d bin Nashir Nabhan, tt) Russel, Bertrand,
Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, dkk (Yogyakarta : pustaka Pelajar,
cet. Ke-2) WM, Abdul Hadi, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya
dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar