|
BEBERAPA waktu lalu Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden Partai Keadilan
Sejahtera yang kini menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, mengangkat
satu isu penting tentang Piagam Madinah (International Herald Tribune,
21/10/2004). Menurut dia, partainya kini tidak lagi berusaha untuk
memperjuangkan Piagam Jakarta masuk menjadi bagian dari konstitusi negara ini.
Sebagai gantinya, PKS akan memperjuangkan tema yang lebih menarik, yaitu
Piagam Madinah.
Inti dari perjuangan mengangkat kembali isu Piagam Jakarta yang didengungkan
oleh beberapa partai Islam, dengan PKS sebagai salah satu pelopornya, adalah
dimasukkannya kembali tujuh kata ("dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam kepada pemeluknya") dalam dasar negara ini. Dengan dicantumkannya
kata-kata itu dalam undang-undang dan dasar negara, maka seluruh umat Islam
di negeri ini harus mengikuti syariat Islam dan negara berhak memberi hukuman
kepada orang Islam yang tidak bersedia menaatinya.
Tema Piagam Jakarta merupakan tema yang terus diperjuangkan beberapa partai
Islam sejak masa kemerdekaan. Namun, setiap kali isu ini diangkat, reaksi
negatif dari beberapa partai, baik sesama partai Islam maupun partai lainnya,
selalu muncul. Terakhir kali, perjuangan untuk mengangkat kembali persoalan
Piagam Jakarta itu terjadi pada sidang MPR tahun 2000. Lagi-lagi perjuangan
yang, di antaranya, dimotori oleh PK (sebelum ganti nama menjadi PKS) ini
berakhir dengan kegagalan.
Barangkali dengan menyadari berulang-ulangnya kegagalan dalam memperjuangkan
Piagam Jakarta itulah yang membuat PKS lantas memutar haluan, tidak lagi
mengangkat tema yang sama tapi menggantinya dengan tema lain yang kemungkinan
lebih bisa diterima oleh kalangan luas, yaitu Piagam Madinah.
Piagam Madinah
Segera setelah Muhammad SAW tiba di Madinah pada 622, beliau membuat
perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah
bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim di Madinah), dan orang-orang Yahudi.
Perjanjian inilah yang kemudian disebut dengan Konstitusi atau Piagam
Madinah.
Sarjana-sarjana Barat dan, tentunya, juga sarjana Muslim sepakat bahwa piagam
ini adalah otentik. Menurut Julius Wellhausen, seorang orientalis Jerman, ada
empat alasan yang mendasari otentitas piagam ini, yaitu, pertama, grammar dan
kosakata yang dipakai sangat archaic. Kedua, teks perjanjian itu penuh dengan
alusi yang hanya bisa dipahami oleh orang yang sezaman dengan diadakannya
perjanjian itu. Ketiga, teks perjanjian itu merefleksikan hukum suku-suku
kuno, jauh sebelum Islam hadir. Keempat, jika ada pemalsuan terhadap
perjanjian itu, tentu ia akan merefleksikan fenomena masa-masa Islam,
misalnya, non-Muslim pasti tidak masuk dalam kategori umma wahida (Humphreys,
1999).
Piagam Madinah sering dianggap sebagai dasar dari pembentukan negara Islam
pertama di Madinah. Dan Nabi Muhammad dipercayai sebagai peletak dasar negara
itu. Isi perjanjian ini, di antaranya, bahwa seluruh penduduk Madinah, apa
pun agama dan sukunya, adalah umma wahida (a single community) atau umat yang
tunggal. Karena itu, mereka semua harus saling membantu dan melindungi, serta
mereka semua berhak menjalankan agama yang dipeluknya masing-masing.
Nilai-nilai universal yang dikandung oleh Piagam Madinah itulah yang, di
antaranya, menjadi alasan bagi Hidayat Nur Wahid dan PKS untuk memindahkan
tema perjuangannya dari Piagam Jakarta menuju Piagam Madinah. Menurut
Hidayat, PKS adalah partai Islam, tetapi partai ini memperjuangkan hal-hal
yang bersifat universal. Dan Piagam Madinah, lanjutnya, menempatkan setiap
orang dan setiap agama pada posisi yang sama. Ini, barangkali, yang
membedakannya dengan Piagam Jakarta yang menempatkan umat Islam sebagai
komunitas eksklusif dan khusus di negeri ini dan menempatkan umat lain
sebagai warga negara kelas dua.
Politik pintu belakang
Meski teks dari Piagam Madinah diyakini otentik, perjanjian ini tak lepas
dari persoalan-persoalan. Dalam kaitannya dengan pembahasan kita kali ini,
setidaknya ada tiga hal dari perjanjian itu yang perlu kita cermati. Pertama,
dalam perjanjian itu tidak ada kata-kata nation of Islam atau "negara
Islam". Ini adalah perjanjian antara orang Islam dan non-Muslim untuk
membangun satu tatanan bersama. Bahkan, kedua, dalam perjanjian itu,
komunitas non-Muslim masuk dalam kategori umma wahida. Dalam pemahaman yang
berkembang kemudian, Piagam Madinah dianggap semata- mata sebagai dasar
pembentukan "negara Islam". Hal yang lebih perlu dicermati adalah
fenomena penyempitan makna umma wahida yang hanya mencakup umat Islam.
Kata-kata ini bermakna eksklusif dan mengeluarkan umat yang beragama lain
dari kandungan kata-kata itu.
Ketiga, para sejarawan tidak pernah sepakat apakah Piagam Madinah itu
merupakan perjanjian sepihak yang dibuat oleh Rasulullah dan orang lain hanya
diminta menyetujui (a unilateral edict) atau piagam itu mengalami proses
perdebatan dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (a negotiated
settlement). Untuk persoalan ketiga ini, jika proses terjadinya perjanjian
itu hanya hasil dari penyodoran Nabi Muhammad kepada umat lain untuk
disetujui, sebetulnya tidak ada equality dari pihak-pihak yang terlibat.
Jika Nabi Muhammad membuat perjanjian itu dengan melakukan perbincangan dan
perdebatan dengan berbagai pihak yang terlibat, apa yang sekarang disebut
dengan proses demokrasi telah dijalankan. Bila kita memahami Piagam Madinah
sebagai a negotiated settlement, maka konteks yang sama dengan perjanjian itu
telah terjadi pada Piagam Jakarta minus tujuh kata-katanya. Pembuangan tujuh
kata itu adalah bagian dari demokrasi.
Persoalan yang menarik sekarang ini adalah adanya kekhawatiran dari berbagai
pihak bahwa upaya yang dilakukan oleh PKS untuk mengangkat isu Piagam Madinah
ini hanya sebagai politik pintu belakang. Artinya, isu-isu yang diangkat di
permukaan dan di media massa adalah hal-hal yang bersifat universal, tetapi
tujuan akhir yang ingin diraih adalah hal-hal yang bersifat khusus, seperti,
pembentukan negara Islam atau menjadikan pemeluk Islam sebagai komunitas yang
eksklusif di negeri ini. Bila hal ini yang terjadi, sebetulnya perjuangan
untuk menegakkan Piagam Jakarta dan perjuangan menegakkan Piagam Madinah
menjadi setali dua uang, sama saja.
Semestinya, dengan mengacu kepada Piagam Madinah, bila umat Islam diwajibkan
menjalankan syariatnya, maka umat agama lain pun akan memperoleh hal yang
sama. Dan akhirnya, perbedaan syariat masing-masing agama itu tidak bisa
menjadi alasan untuk berselisih karena semua orang di negeri ini, Muslim atau
non-Muslim dan dari suku atau golongan apa pun, adalah umma wahida.
Julfahmi putra jabat Universitas Islam Negri
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar